Latar Belakang Jepang Mendirikan PETA
Penyerahan tanpa syarat Letnan
Jenderal H. Ter Poorten, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda kepada
pimpinan tentara Jepang Letnan Jenderal Hitoshi Imamura yang terjadi pada
tanggal 8 Maret 1942, hal ini menandai berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda di
Indonesia yang kemudian digantikan oleh pemerintahan pendudukan Jepang. Dengan
begitu Indonesia memasuki periode baru, yaitu periode pendudukan Jepang.
Berbeda dengan zaman Hindia Belanda yang hanya terdapat satu pemerintahan
sipil, pada zaman pendudukan Jepang terdapat tiga pemerintahan militer
pendudukan yaitu sebagai berikut:
a. Pemerintahan Militer Angkatan Darat atau
Rikugun (Tentara ke-25) untuk daerah Jawa dan Madura dengan pusatnya di
Jakarta.
b. Pemerintahan Militer Angkatan Darat atau Rikugun
(Tentara ke-16) untuk daerah Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu dengan
pusatnya di Bukittinggi.
c. Pemerintahan Militer Angkatan Laut atau
Kaigun (Armada Selatan ke-2) untuk daerah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara,
Maluku, Irian dengan pusatnya di Makassar.
Pada awal mulanya pemerintahan
Jepang di Indonesia, tentara Jepang membentuk pemerintahan militer di Pulau
Jawa yang bersifat sementara, hal ini sesuai dengan Osamu Seirei (Undang-undang
yang dikeluarkan oleh Panglima tentara ke-16) No. 1 Pasal 1 yang dikeluarkan
pada tanggal 7 Maret 1942. Undang-undang tersebut kemudian menjadi pokok dari
peraturan-peraturan ketatanegaraan Jepang di Indonesia. Berdasarkan
Undang-undang tersebut, dapat diketahui bahwa jabatan Gubernur Jenderal pada
zaman Hindia belanda dihapuskan. Segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh
Gubernur Jenderal kemudian diganti oleh panglima tentara Jepang di Jawa.
Undang-undang tersebut juga
mengisyaratkan bahwa pemerintahan pendudukan Jepang berkeinginan untuk terus
menggunakan aparat pemerintahan sipil beserta para pegawainya. Hal itu
dimaksudkan agar pemerintahan dapat berjalan terus dan kekacauan dapat dicegah.
Akan tetapi, pemimpin-pemimpin dari pusat sampai daerah dipegang oleh
tentara-tentara Jepang.
Koordinator pemerintahan setempat
disebut dengan Gunsebu. Misalnya di wilayah Jawa Barat pusat koordinator berada
di Bandung. Pada setiap Gunsebu ditempatkan beberapa komandan militer. Mereka
mendapat tugas untuk memulihkan ketertiban dan keamanan, menanam kekuasaan, dan
membentuk pemerintahan setempat. Mereka juga diberi wewenang untuk memecat para
pegawai bangsa Belanda. Namun, usaha untuk membentuk pemerintahan setempat
ternyata tidak berjalan dengan lancar. Jepang kekurangan tenaga pemerintahan yang sebenarnya telah dikirimkan dari Negara
Jepang, tapi dalam perjalanan menuju Indonesia dengan menggunakan kapal laut,
kapal mereka tenggelam karena diserang oleh Sekutu dengan menggunakan torpedo.
Oleh karena itu, dengan terpaksa diangkat pegawai-pegawai bangsa Indonesia. Hal
itu tentunya menguntungkan pihak Indonesia karena memperoleh pengalaman dalam
bidang pemerintahan.
Di Jawa Barat, para pembesar
militer Jepang menyelenggarakan pertemuan dengan para anggota Dewan Pemerintah
Daerah dengan bertujuan untuk menciptakan suasana kerja sama yang baik.
Gubernur Jawa Barat, Kolonel Matsui, didampingi oleh R. Pandu Suradiningrat
sebagai wakil gubernur, sedangkan Atik Suardi diangkat sebagai pembantu wakil
gubernur.
Pada tanggal 19 April 1942
diangkat residen-residen berikut ini:
1. R. Adipati Aria Hilman Djajadiningrat
di Banten (Serang)
2. R. A. A. Surjadjajanegara di Bogor
3. R. A. A. Wiranatakusuma di Priangan
(Bandung)
4. Pangeran Ario Suriadi di Cirebon
5. R. A. A. Surjo di Pekalongan
6. R. A. A. Sudjiman Martadiredja Gandasubrata
di Banyumas
Di kota Batavia, sebelum namanya
diubah menjadi Jakarta, H. Dahlan Abdullah diangkat sebagai kepala pemerintahan
daerah Kotapraja, sedangkan jabatan kepala polisi diserahkan kepada Mas
Sutandoko.
Di Jawa Tengah, hal yang sama
juga dilakukan oleh pemerintah Jepang. Jabatan gubernur berada di tangan orang
Jepang, yaitu Letnan Kolonel Taga yang berkedudukan di Semarang. Sementara itu,
tugas melaksanakan pemerintahan sehari-hari untuk di daerah Yogyakarta, yang
pada saat itu dinyatakan sebagai pusat organisasi pemerintahan militer di Jawa
tengah, masih dipercayakan kepada pejabat Belanda, Dr. L. Adam. Namun masih
dalam pengawasan yang sangat ketat oleh
pembesar-pembesar militer Jepang.
Selain itu pasukan Jepang selalu
berusaha untuk dapat memikat hati rakyat Indonesia, hal ini dilakukan dengan
tujuan agar rakyat Indonesia memberi bantuan kepada pasukan Jepang dalam perang
di Asia Timur Raya. Oleh karena itu untuk menarik simpati rakyat Indonesia
pemerintah Jepang membentuk organisasi-organisasi resmi, salah satunya adalah
organisasi Pembela Tanah Air (PETA).
PETA (Pembela Tanah Air) resmi
didirikan pada tanggal 3 Oktober 1943, menjelang berakhirnya latihan
kemiliteran angkatan kedua dari Heiho. Jumlah personil 66 Batalion di Jawa 3
Batalion di Bali Sekitar 20,000 personel di Sumatera Markas Bogor, Jawa. Pada
saat itu keluar perintah dari Panglima Letnan Jenderal Kumakici Harada kepada
Tokubetsu Han untuk membentuk Tentara PETA. Namun, pemerintah Jepang mempunyai
inisiatif agar pembentukan Tentara PETA tersebut dibuat sedemikian rupa
sehingga seolah-olah merupakan usulan dari rakyat Indonesia. Selanjutnya
dipilihlah Gatot Mangukupraja, seorang nasionalis yang bersimpati kepada
Jepang, dalam hal ini Gatot ditugaskan untuk mengajukan permohonan kepada
Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) supaya dibentuk tentara PETA
yang anggotanya terdiri dari rakyat Indonesia saja. Kemudian pada tanggal 7
September 1943, Gatot Mangukupraja mengirimkan surat permohonan kepada
Gunseikan, tidak lama kemudian permohonan itu dikabulkan oleh pemerintah Jepang
dengan peraturan yang disebut Osamu Seirei No. 44, tenggal 3 Oktober 1943.
Tujuan awal dari pembentukan
organisasi PETA tersebut adalah untuk memenuhi kepentingan peperangan Jepang di
Lautan Pasifik, yakni Membela Indonesia dari serangan Blok Sekutu. Ada pendapat
lain bahwa pembentukan PETA merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan
semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal
dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri. Namun dalam perkembangan selanjutnya,
PETA justru sangat besar manfaatnya bagi bangsa dan Negara Indonesia untuk
meraih kemerdekaan.
Beratus-ratus kaum terpelajar
Indonesia mencatatkan diri untuk diterima sebagai prajurit pembela tanah air.
Mereka yang diterima, dalam waktu singkat disiapkan untuk menjalani
latihan-latihan militer dari opsir-opsir Jepang di kota masing-masing. Mereka
dikumpulkan dalam asrama-asrama khusus yang disebut Daidan, dipimpin oleh
seorang Daidanco. Hampir di tiap kota di Jawa ada Daidan untuk prajurit pembela
tanah air.
Organisasi PETA tidak secara
resmi menjadi bagian dari balatentara Jepang melainkan dimaksudkan sebagai
pasukan gerilya pembantu guna melawan pihak sekutu dalam perang Asia Pasifik.
Korps perwiranya meliputi para pejabat, para guru, para kyai dan orang-orang
Indonesia yang sebelumnya menjadi serdadu kolonial Belanda. Di antara mereka
adalah seorang bekas guru sekolah Muhammadiyah yang bernama Soedirman, yang
kemudian akan menjadi seorang tokoh militer terkemuka pada masa revolusi.
Disiplin PETA sangat ketat dan ide-ide nasionalis Indonesia dimanfaatkan dalam
indoktrinasi.
Peran PETA dalam Memperjuangkan
Negara Indonesia
Perhatian dan minat dari para
pemuda Indonesia ternyata sangat besar, terutama para pemuda yang telah
mendapatkan pendidikan di sekolah menengah dan yang telah bergabung dengan
Seinendan. Di dalam PETA terdapat Lima macam tingkat kepangkatan, yaitu
1. Daidanco (komandan batalyon), dipilih
dari tokoh-tokoh masyarakat seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama,
pamongraja, politikus, dan penegak hukum
2. Cudanco (komandan kompi), dipilih dari
kalangan yang sudah memiliki pekerjaan namun masih belum mencapai pangkat yang
tinggi, seperti guru dan juru tulis.
3. Shodanco (komandan peleton), dipilih dari
kalangan pelajar sekolah lanjutan pertama atau sekolah lanjutan atas.
4. Budanco (komandan regu), dipilih dari
kalangan pemuda yang pernah bersekolah dasar
5. Giyuhei (prajurit sukarela) dari kalangan
pemuda yang belum pernah mengenyam pendidikan.
Para pemuda yang menjadi anggota
PETA dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) mereka yang menjadi anggota PETA
dengan semangat yang tinggi. (2) mereka yang menjadi anggota PETA yang
dipengaruhi oleh orang lain. (3) mereka yang menjadi anggota PETA dengan
perasaan acuh tak acuh. Para anggota PETA mendapat pendidikan militer di Bogor
pada lembaga Jawa Boei Giguyun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela
Pembela Tanah Air di Jawa). Nama pendidikan itu kemudian berubah menjadi Jawa
Boei Giguyun Kanbu Kyoikutai (Korps Pendidikan Pemimpin Tentara Sukarela
Pembela Tanah Air di Jawa). Setelah mendapat pendidikan itu kemudian para
tentara PETA ditempatkan pada daidan-daidan yang tersebar di Jawa, Madura, dan
Bali.
Sumbangsih dan peranan tentara
PETA dalam masa Perang Kemerdekaan Indonesia sangatlah besar. Demikian juga
peranan mantan Tentara PETA dalam kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh yang
dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan Jendral
Besar Soedirman. Mantan Tentara PETA menjadi bagian penting pembentukan Tentara
Nasional Indonesia (TNI), mulai dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara
Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia
(TRI) hingga TNI. Untuk mengenang perjuangan Tentara PETA, pada tanggal 18
Desember 1995 diresmikan monumen PETA yang letaknya di Bogor, bekas markas
besar PETA.
Dalam perkembangannya, beberapa
anggota PETA mulai kecewa terhadap Balatentara Jepang, hal ini dikarenakan
pemerintah Jepang yang semula memberikan janji masa depan yang cerah bagi
rakyat Indonesia, namun pada kenyataannya justru membuat rakyat Indonesia
semakin sengsara. Sehingga timbullah pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan
oleh para anggota PETA.
Pemberontakan-pemberontakan
tersebut paling besar terjadi di Blitar Jawa Timur. Pada tanggal 14 Februari
1945 terjadi perlawanan oleh PETA di bawah pimpinan Supriyadi (putra Bupati
Blitar) dan kawan-kawannya yang terjadi dalam Daidan Surakmad. Motif utama
dalam perlawanan ini adalah kemarahan dan ketidakpuasan tentara Peta terhadap
pemerintah pendudukan Jepang. Mereka melihat kenyataan dalam kehidupan
masyarakat terdapat adanya penderitaan rakyat di mana-mana, terutama disekitar
tempat tugas mereka. Dalam memimpin perlawanan ini Supriyadi dibantu oleh Dr.
Ismail, Mudari, dan Suwondo.
Pada tanggal 29 Februari 1945
dinihari mulailah Supriyadi dengan teman-temannya para anggota PETA bergerak.
Mereka melepaskan tembakan mortar, senapan mesin, dan granat dari daidan, lalu
bergerak ke luar dengan senjata lengkap. Setelah pihak Jepang mengetahui
tentang gerakan pemberontakan itu, maka dengan cepat didatangkan
pasukan-pasukan Jepang. Pasukan ini juga dipersenjatai tank, dan pesawat udara.
Mereka terus menduduki Kota Blitar, yang pada waktu itu telah menjadi
sunyi-senyap, karena lalu lintas biasa terhenti dan rakyat bersembunyi atau
menyingkir. Rumah Daidanco dan Cudanco semuanya dijaga oleh Jepang: Daidan pun
telah didudukinya. Daidanco sebenarnya sudah jadi tawanan Jepang, dan dari
Daidanco tawanan ini ke luar perintah –perintah yang ditunjukkan kepada
anggota-anggota yang belum terkumpul kembali, termasuk Cudanco Suyatmo, untuk
melaporkan diri.
Pada perlawanan ini, orang-orang Jepang
yang ada di Blitar dibunuh, perlawanan ini benar-benar mengejutkan bagi Jepang
terlebih lagi pada saat itu Jepang terus-menerus mengalami kekalahan dalam
Perang Asia Timur Raya. Kemudian Jepang mengepung kedudukan Supriyadi dan kawan-kawannya,
namun pasukan Supriyadi tatap melakukan perlawanan dan menjalankan aksinya,
maka terjadilah pertempuran. Tembak-tembakan senjata berat terjadi antara
tentara-tentara Jepang dengan para tentara PETA, dengan terjadinya keadaan
seperti ini membingungkan Jepang dan membuatnya terjepit.
Menghadapai kegigihan tekad pihak
pemberontak tersebut, maka Komandan pasukan Jepang Kolonel Katagiri menjalankan
cara yang lembut untuk menundukkan Supriyadi beserta kawan-kawannya dari PETA,
tapi pada sesungguhnya cara yang dilakukan oleh pasukan Jepang tersebut
merupakan suatu tipu muslihat dengan menyerukan agar para pemuda-pemuda Blitar
yang mengadakan perlawanan tersebut untuk menyerah saja dan kemudian akan
dijamin keselamatannya serta akan dipenuhi permintaannya oleh pemerintah
Jepang.
Tipuan Jepang tersebut ternyata
berhasil dan akibatnya banyak anggota PETA yang menyerah. Pasukan PETA yang
menyerah tersebut tidak luput dari hukuman Jepang dan beberapa orang
diantaranya dijatuhi hukuman mati, ada pula yang meninggal karena siksaan dari
tentara-tentara Jepang. Adapaun nasib Supriyadi dalam perlawanan itu belum
diketahui secara jelas dan pasti, ada kemungkinan beliau tertangkap dan disiksa
sampai menemui ajalnya. Peristiwa ini sangat dirahasiakan oleh pemerintah
Jepang sehingga tidak tercium oleh pihak luar.
Pemberontakan di Blitar adalah
pemberontakan yang paling besar terjadi di dalam PETA, akan tetapi menurut
perkiraan telah terjadi pemberontakan lainnya yang lebih kecil, yang
disembunyikan oleh Jepang. Pemberontakan tersebut adalah pemberontakan dalam
batalyon daerah Cilacap. Di Gumilir, di luar Kota Cilacap, ditempatkan satu
Cudan (kompi) PETA dari daidan Cilacap yang dipimpin oleh Sutirto. Pemimpin
regu (Budanco) Kusaeri bersama-sama dengan Suwab, Wasirun, Hadi, Mardiyono,
Sarjono, Udi, S. Wiryosukarto, Taswan dan Sujud tampil memelopori pemberontakan
tersebut.
Setelah Kusaeri dengan teman-temannya
bersepakat untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang, terlebih dahulu ia
mendatangai orang Kyai yang terkenal di daerah itu guna mendapatkan bantuan
batin, yaitu Kyai Bugel di Lebeng daerah Cilacap, Kyai Juhdi di Rawalo dan Kyai
H. Muhammad Sidik di daerah Banjarnegara. Kusaeri menerima wejangan-wejangan
dan benda-benda yang dipandang mengandung nilai magis. Dalam pertemuan Kusaeri
dengan kawan-kawannya pada tanggal 5 April 1945 di belakang gudang munisi
diputuskan bahwa pemberontakan akan dimulai pada tanggal 21 April 1945 pukul
23.00.
Sesuai dengan rencananya, anggota
bagian persenjataan yang bersikap ragu-ragu lalu disergap dan diikat kedua
tangannya sehingga gudang senjata dapat dibukanya. Sejumlah 215 orang PETA
lengkap dengan persenjataan dan munisinya bergerak ke luar asrama PETA Gumilir
menuju Gunung Srandil yang akan digunakan sebagai basis gerakannya. Panggilan
Daidanco Sutirto agar mereka kembali tidak dihiraukannya. Jepang berpendapat
bahwa pemberontakan itu telah diketahui oleh Daidanco PETA Kroya, Sudirman.
Oleh karenanya, Sudirman diperintahkan untuk berangkat bersama opsir Jepang
guna memadamkan pemberontakan tersebut. Namun, Daidanco Sudirman bersedia
membantu dengan syarat:
a.Kampung-kampung yang
dipergunakan sebagi tempat persembunyian Kusaeri dan kawan-kawannya tidak boleh
ditembaki.
b. Prajurit-prajurit PETA yang menyerah
tidak boleh disiksa.
Kemudian pihak Jepang menerima
dan menjamin persyaratan tersebut. Akhirnya Sudirman menuju ke tempat para
pemberontak bersama opsir-opsir Jepang. Setelah sampai Sudirman melalukan
panggilan terhadap Kusaeri beserta kawan-kawannya. Pemberontakan dapat
diselesaikan dengan baik dan mereka tidak dihadapkan ke siding pengadilan
militer Jepang. Sedangkan tanggung jawab selanjutnya adalah pada daidanco PETA
Cilacap. Namun, pada tanggal 25 April 1945 Kusaeri tertangkap di Desa Adipala
dalam perjalanan menuju Cilacap. Ia diikat dan ditelungkupkan dalam mobil
dengan dua orang Jepang duduk di atas punggungnya. Selama dua minggu di Cilacap
ia terus menerus diperiksa oleh Jepang, kemudian pada tanggal 10 Mei 1945
Kusaeri dengan 18 orang temannya termasuk Kyai Bugel di bawa ke Jakarta oleh
Jepang. Kusaeri divonis hukuma mati, sedangkan lainnya ada yang dihukum seumur
hidup dan hukuman 15 tahun penjara, diantara mereka ada yang menderita lumpuh
di dalam tahanan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa
pendudukan Jepang di Indonesia tidak dapat diterima, di samping adanya
perlawanan-perlawanan tersebut, para tentara-tentara Jepang juga sempat
mengadakan pembunuhan secara besar-besaran terhadap masyarakat lapisan
terpelajar di daerah Kalimantan Barat. Tidak kurang dari 20.000 orang yang
meninggal akibat dibunuh oleh para tentara Jepang, hanya sebagian kecil saja
yang dapat menyelamatkan diri dan lari ke Pulau Jawa.
Kemungkinan besar, politik
pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh para tentara Jepang tersebut
merupakan persiapan kolonisasi orang-orang Jepang kelak di kemudian hari.
Alasan semula, berasal dari kecurigaan pemerintah Jepang terhadap adanya
mata-mata musuh yang tersebar di wilayah ini, yang kemudian melakukan
pembasmian demi keselamatan Jepang. Meskipun demikian, di wilayah ini telah
terjadi suatau tindakan brutal yang dilakukan oleh para tentara pemerintah
pendudukan Jepang yang tidak mengenal adanya perikemanusiaan.
Alasan Jepang Membubarkan PETA
Akibat dari terjadinya pemberontakan-pemberontakan
yang dilakukan oleh para tentara PETA yang terjadi diberbagai daerah di
Indonesia, akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia, berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepang dengan blok
Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan para daidan batalion PETA untuk
menyerah dan menyerahkan senjata mereka, dimana sebagian besar dari mereka
mematuhinya. Presiden Republik Indonesia yang baru saja dilantik, Sukarno,
mendukung pembubaran ini ketimbang mengubah PETA menjadi tentara nasional,
karena tuduhan blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator
Kekaisaran Jepang apabila ia memperbolehkan milisi yang diciptakan Jepang ini
untuk dilanjutkan. Sehari kemudian, tanggal 19 Agustus 1945, panglima terakhir
Tentara Ke-16 di Jawa, Letnan Jendral Nagano Yuichiro, mengucapkan pidato
perpisahan pada para anggota kesatuan PETA.
semoga bermanfaat
BACA >> Sekilas Dari Admin
Silahkan Tinggalkan Komentar tentang artikel ini
Comments for blogger! brought to you by Dunia Pendidikan , Ingin Kotak Komentar seperti ini? KLIK DISINI!?
makasih buat yang udah mosting, membantu sekali dalam mengerjakan tugas sekolah saya :)
ReplyDelete