Thursday, February 14, 2013

PETA (Pembela Tanah Air)

  Latar Belakang Jepang Mendirikan PETA

Penyerahan tanpa syarat Letnan Jenderal H. Ter Poorten, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda kepada pimpinan tentara Jepang Letnan Jenderal Hitoshi Imamura yang terjadi pada tanggal 8 Maret 1942, hal ini menandai berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia yang kemudian digantikan oleh pemerintahan pendudukan Jepang. Dengan begitu Indonesia memasuki periode baru, yaitu periode pendudukan Jepang. Berbeda dengan zaman Hindia Belanda yang hanya terdapat satu pemerintahan sipil, pada zaman pendudukan Jepang terdapat tiga pemerintahan militer pendudukan yaitu sebagai berikut:
a.     Pemerintahan Militer Angkatan Darat atau Rikugun (Tentara ke-25) untuk daerah Jawa dan Madura dengan pusatnya di Jakarta.
b.    Pemerintahan Militer Angkatan Darat atau Rikugun (Tentara ke-16) untuk daerah Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu dengan pusatnya di Bukittinggi.
c.     Pemerintahan Militer Angkatan Laut atau Kaigun (Armada Selatan ke-2) untuk daerah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian dengan pusatnya di Makassar.
Pada awal mulanya pemerintahan Jepang di Indonesia, tentara Jepang membentuk pemerintahan militer di Pulau Jawa yang bersifat sementara, hal ini sesuai dengan Osamu Seirei (Undang-undang yang dikeluarkan oleh Panglima tentara ke-16) No. 1 Pasal 1 yang dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1942. Undang-undang tersebut kemudian menjadi pokok dari peraturan-peraturan ketatanegaraan Jepang di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang tersebut, dapat diketahui bahwa jabatan Gubernur Jenderal pada zaman Hindia belanda dihapuskan. Segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jenderal kemudian diganti oleh panglima tentara Jepang di Jawa.
Undang-undang tersebut juga mengisyaratkan bahwa pemerintahan pendudukan Jepang berkeinginan untuk terus menggunakan aparat pemerintahan sipil beserta para pegawainya. Hal itu dimaksudkan agar pemerintahan dapat berjalan terus dan kekacauan dapat dicegah. Akan tetapi, pemimpin-pemimpin dari pusat sampai daerah dipegang oleh tentara-tentara Jepang.
Koordinator pemerintahan setempat disebut dengan Gunsebu. Misalnya di wilayah Jawa Barat pusat koordinator berada di Bandung. Pada setiap Gunsebu ditempatkan beberapa komandan militer. Mereka mendapat tugas untuk memulihkan ketertiban dan keamanan, menanam kekuasaan, dan membentuk pemerintahan setempat. Mereka juga diberi wewenang untuk memecat para pegawai bangsa Belanda. Namun, usaha untuk membentuk pemerintahan setempat ternyata tidak berjalan dengan lancar. Jepang kekurangan tenaga pemerintahan  yang sebenarnya telah dikirimkan dari Negara Jepang, tapi dalam perjalanan menuju Indonesia dengan menggunakan kapal laut, kapal mereka tenggelam karena diserang oleh Sekutu dengan menggunakan torpedo. Oleh karena itu, dengan terpaksa diangkat pegawai-pegawai bangsa Indonesia. Hal itu tentunya menguntungkan pihak Indonesia karena memperoleh pengalaman dalam bidang pemerintahan.
Di Jawa Barat, para pembesar militer Jepang menyelenggarakan pertemuan dengan para anggota Dewan Pemerintah Daerah dengan bertujuan untuk menciptakan suasana kerja sama yang baik. Gubernur Jawa Barat, Kolonel Matsui, didampingi oleh R. Pandu Suradiningrat sebagai wakil gubernur, sedangkan Atik Suardi diangkat sebagai pembantu wakil gubernur.

Pada tanggal 19 April 1942 diangkat residen-residen berikut ini:
1.        R. Adipati Aria Hilman Djajadiningrat di Banten (Serang)
2.        R. A. A. Surjadjajanegara di Bogor
3.        R. A. A. Wiranatakusuma di Priangan (Bandung)
4.        Pangeran Ario Suriadi di Cirebon
5.        R. A. A. Surjo di Pekalongan
6.        R. A. A. Sudjiman Martadiredja Gandasubrata di Banyumas

Di kota Batavia, sebelum namanya diubah menjadi Jakarta, H. Dahlan Abdullah diangkat sebagai kepala pemerintahan daerah Kotapraja, sedangkan jabatan kepala polisi diserahkan kepada Mas Sutandoko.
Di Jawa Tengah, hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah Jepang. Jabatan gubernur berada di tangan orang Jepang, yaitu Letnan Kolonel Taga yang berkedudukan di Semarang. Sementara itu, tugas melaksanakan pemerintahan sehari-hari untuk di daerah Yogyakarta, yang pada saat itu dinyatakan sebagai pusat organisasi pemerintahan militer di Jawa tengah, masih dipercayakan kepada pejabat Belanda, Dr. L. Adam. Namun masih dalam pengawasan  yang sangat ketat oleh pembesar-pembesar militer Jepang.
Selain itu pasukan Jepang selalu berusaha untuk dapat memikat hati rakyat Indonesia, hal ini dilakukan dengan tujuan agar rakyat Indonesia memberi bantuan kepada pasukan Jepang dalam perang di Asia Timur Raya. Oleh karena itu untuk menarik simpati rakyat Indonesia pemerintah Jepang membentuk organisasi-organisasi resmi, salah satunya adalah organisasi Pembela Tanah Air (PETA).
PETA (Pembela Tanah Air) resmi didirikan pada tanggal 3 Oktober 1943, menjelang berakhirnya latihan kemiliteran angkatan kedua dari Heiho. Jumlah personil 66 Batalion di Jawa 3 Batalion di Bali Sekitar 20,000 personel di Sumatera Markas Bogor, Jawa. Pada saat itu keluar perintah dari Panglima Letnan Jenderal Kumakici Harada kepada Tokubetsu Han untuk membentuk Tentara PETA. Namun, pemerintah Jepang mempunyai inisiatif agar pembentukan Tentara PETA tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga seolah-olah merupakan usulan dari rakyat Indonesia. Selanjutnya dipilihlah Gatot Mangukupraja, seorang nasionalis yang bersimpati kepada Jepang, dalam hal ini Gatot ditugaskan untuk mengajukan permohonan kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) supaya dibentuk tentara PETA yang anggotanya terdiri dari rakyat Indonesia saja. Kemudian pada tanggal 7 September 1943, Gatot Mangukupraja mengirimkan surat permohonan kepada Gunseikan, tidak lama kemudian permohonan itu dikabulkan oleh pemerintah Jepang dengan peraturan yang disebut Osamu Seirei No. 44, tenggal 3 Oktober 1943.
Tujuan awal dari pembentukan organisasi PETA tersebut adalah untuk memenuhi kepentingan peperangan Jepang di Lautan Pasifik, yakni Membela Indonesia dari serangan Blok Sekutu. Ada pendapat lain bahwa pembentukan PETA merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri. Namun dalam perkembangan selanjutnya, PETA justru sangat besar manfaatnya bagi bangsa dan Negara Indonesia untuk meraih kemerdekaan.
Beratus-ratus kaum terpelajar Indonesia mencatatkan diri untuk diterima sebagai prajurit pembela tanah air. Mereka yang diterima, dalam waktu singkat disiapkan untuk menjalani latihan-latihan militer dari opsir-opsir Jepang di kota masing-masing. Mereka dikumpulkan dalam asrama-asrama khusus yang disebut Daidan, dipimpin oleh seorang Daidanco. Hampir di tiap kota di Jawa ada Daidan untuk prajurit pembela tanah air.
Organisasi PETA tidak secara resmi menjadi bagian dari balatentara Jepang melainkan dimaksudkan sebagai pasukan gerilya pembantu guna melawan pihak sekutu dalam perang Asia Pasifik. Korps perwiranya meliputi para pejabat, para guru, para kyai dan orang-orang Indonesia yang sebelumnya menjadi serdadu kolonial Belanda. Di antara mereka adalah seorang bekas guru sekolah Muhammadiyah yang bernama Soedirman, yang kemudian akan menjadi seorang tokoh militer terkemuka pada masa revolusi. Disiplin PETA sangat ketat dan ide-ide nasionalis Indonesia dimanfaatkan dalam indoktrinasi.

Peran PETA dalam Memperjuangkan Negara Indonesia

Perhatian dan minat dari para pemuda Indonesia ternyata sangat besar, terutama para pemuda yang telah mendapatkan pendidikan di sekolah menengah dan yang telah bergabung dengan Seinendan. Di dalam PETA terdapat Lima macam tingkat kepangkatan, yaitu
1.      Daidanco (komandan batalyon), dipilih dari tokoh-tokoh masyarakat seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamongraja, politikus, dan penegak hukum
2.      Cudanco (komandan kompi), dipilih dari kalangan yang sudah memiliki pekerjaan namun masih belum mencapai pangkat yang tinggi, seperti guru dan juru tulis.
3.      Shodanco (komandan peleton), dipilih dari kalangan pelajar sekolah lanjutan pertama atau sekolah lanjutan atas.
4.      Budanco (komandan regu), dipilih dari kalangan pemuda yang pernah bersekolah dasar
5.      Giyuhei (prajurit sukarela) dari kalangan pemuda yang belum pernah mengenyam pendidikan.

Para pemuda yang menjadi anggota PETA dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) mereka yang menjadi anggota PETA dengan semangat yang tinggi. (2) mereka yang menjadi anggota PETA yang dipengaruhi oleh orang lain. (3) mereka yang menjadi anggota PETA dengan perasaan acuh tak acuh. Para anggota PETA mendapat pendidikan militer di Bogor pada lembaga Jawa Boei Giguyun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Nama pendidikan itu kemudian berubah menjadi Jawa Boei Giguyun Kanbu Kyoikutai (Korps Pendidikan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Setelah mendapat pendidikan itu kemudian para tentara PETA ditempatkan pada daidan-daidan yang tersebar di Jawa, Madura, dan Bali.
Sumbangsih dan peranan tentara PETA dalam masa Perang Kemerdekaan Indonesia sangatlah besar. Demikian juga peranan mantan Tentara PETA dalam kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan Jendral Besar Soedirman. Mantan Tentara PETA menjadi bagian penting pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), mulai dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga TNI. Untuk mengenang perjuangan Tentara PETA, pada tanggal 18 Desember 1995 diresmikan monumen PETA yang letaknya di Bogor, bekas markas besar PETA.
Dalam perkembangannya, beberapa anggota PETA mulai kecewa terhadap Balatentara Jepang, hal ini dikarenakan pemerintah Jepang yang semula memberikan janji masa depan yang cerah bagi rakyat Indonesia, namun pada kenyataannya justru membuat rakyat Indonesia semakin sengsara. Sehingga timbullah pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para anggota PETA.
Pemberontakan-pemberontakan tersebut paling besar terjadi di Blitar Jawa Timur. Pada tanggal 14 Februari 1945 terjadi perlawanan oleh PETA di bawah pimpinan Supriyadi (putra Bupati Blitar) dan kawan-kawannya yang terjadi dalam Daidan Surakmad. Motif utama dalam perlawanan ini adalah kemarahan dan ketidakpuasan tentara Peta terhadap pemerintah pendudukan Jepang. Mereka melihat kenyataan dalam kehidupan masyarakat terdapat adanya penderitaan rakyat di mana-mana, terutama disekitar tempat tugas mereka. Dalam memimpin perlawanan ini Supriyadi dibantu oleh Dr. Ismail, Mudari, dan Suwondo.
Pada tanggal 29 Februari 1945 dinihari mulailah Supriyadi dengan teman-temannya para anggota PETA bergerak. Mereka melepaskan tembakan mortar, senapan mesin, dan granat dari daidan, lalu bergerak ke luar dengan senjata lengkap. Setelah pihak Jepang mengetahui tentang gerakan pemberontakan itu, maka dengan cepat didatangkan pasukan-pasukan Jepang. Pasukan ini juga dipersenjatai tank, dan pesawat udara. Mereka terus menduduki Kota Blitar, yang pada waktu itu telah menjadi sunyi-senyap, karena lalu lintas biasa terhenti dan rakyat bersembunyi atau menyingkir. Rumah Daidanco dan Cudanco semuanya dijaga oleh Jepang: Daidan pun telah didudukinya. Daidanco sebenarnya sudah jadi tawanan Jepang, dan dari Daidanco tawanan ini ke luar perintah –perintah yang ditunjukkan kepada anggota-anggota yang belum terkumpul kembali, termasuk Cudanco Suyatmo, untuk melaporkan diri.
       Pada perlawanan ini, orang-orang Jepang yang ada di Blitar dibunuh, perlawanan ini benar-benar mengejutkan bagi Jepang terlebih lagi pada saat itu Jepang terus-menerus mengalami kekalahan dalam Perang Asia Timur Raya. Kemudian Jepang mengepung kedudukan Supriyadi dan kawan-kawannya, namun pasukan Supriyadi tatap melakukan perlawanan dan menjalankan aksinya, maka terjadilah pertempuran. Tembak-tembakan senjata berat terjadi antara tentara-tentara Jepang dengan para tentara PETA, dengan terjadinya keadaan seperti ini membingungkan Jepang dan membuatnya terjepit.
Menghadapai kegigihan tekad pihak pemberontak tersebut, maka Komandan pasukan Jepang Kolonel Katagiri menjalankan cara yang lembut untuk menundukkan Supriyadi beserta kawan-kawannya dari PETA, tapi pada sesungguhnya cara yang dilakukan oleh pasukan Jepang tersebut merupakan suatu tipu muslihat dengan menyerukan agar para pemuda-pemuda Blitar yang mengadakan perlawanan tersebut untuk menyerah saja dan kemudian akan dijamin keselamatannya serta akan dipenuhi permintaannya oleh pemerintah Jepang.
          Tipuan Jepang tersebut ternyata berhasil dan akibatnya banyak anggota PETA yang menyerah. Pasukan PETA yang menyerah tersebut tidak luput dari hukuman Jepang dan beberapa orang diantaranya dijatuhi hukuman mati, ada pula yang meninggal karena siksaan dari tentara-tentara Jepang. Adapaun nasib Supriyadi dalam perlawanan itu belum diketahui secara jelas dan pasti, ada kemungkinan beliau tertangkap dan disiksa sampai menemui ajalnya. Peristiwa ini sangat dirahasiakan oleh pemerintah Jepang sehingga tidak tercium oleh pihak luar.
          Pemberontakan di Blitar adalah pemberontakan yang paling besar terjadi di dalam PETA, akan tetapi menurut perkiraan telah terjadi pemberontakan lainnya yang lebih kecil, yang disembunyikan oleh Jepang. Pemberontakan tersebut adalah pemberontakan dalam batalyon daerah Cilacap. Di Gumilir, di luar Kota Cilacap, ditempatkan satu Cudan (kompi) PETA dari daidan Cilacap yang dipimpin oleh Sutirto. Pemimpin regu (Budanco) Kusaeri bersama-sama dengan Suwab, Wasirun, Hadi, Mardiyono, Sarjono, Udi, S. Wiryosukarto, Taswan dan Sujud tampil memelopori pemberontakan tersebut.
          Setelah Kusaeri dengan teman-temannya bersepakat untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang, terlebih dahulu ia mendatangai orang Kyai yang terkenal di daerah itu guna mendapatkan bantuan batin, yaitu Kyai Bugel di Lebeng daerah Cilacap, Kyai Juhdi di Rawalo dan Kyai H. Muhammad Sidik di daerah Banjarnegara. Kusaeri menerima wejangan-wejangan dan benda-benda yang dipandang mengandung nilai magis. Dalam pertemuan Kusaeri dengan kawan-kawannya pada tanggal 5 April 1945 di belakang gudang munisi diputuskan bahwa pemberontakan akan dimulai pada tanggal 21 April 1945 pukul 23.00.
          Sesuai dengan rencananya, anggota bagian persenjataan yang bersikap ragu-ragu lalu disergap dan diikat kedua tangannya sehingga gudang senjata dapat dibukanya. Sejumlah 215 orang PETA lengkap dengan persenjataan dan munisinya bergerak ke luar asrama PETA Gumilir menuju Gunung Srandil yang akan digunakan sebagai basis gerakannya. Panggilan Daidanco Sutirto agar mereka kembali tidak dihiraukannya. Jepang berpendapat bahwa pemberontakan itu telah diketahui oleh Daidanco PETA Kroya, Sudirman. Oleh karenanya, Sudirman diperintahkan untuk berangkat bersama opsir Jepang guna memadamkan pemberontakan tersebut. Namun, Daidanco Sudirman bersedia membantu dengan syarat:
a.Kampung-kampung yang dipergunakan sebagi tempat persembunyian Kusaeri dan kawan-kawannya tidak boleh ditembaki.
b.      Prajurit-prajurit PETA yang menyerah tidak boleh disiksa.
Kemudian pihak Jepang menerima dan menjamin persyaratan tersebut. Akhirnya Sudirman menuju ke tempat para pemberontak bersama opsir-opsir Jepang. Setelah sampai Sudirman melalukan panggilan terhadap Kusaeri beserta kawan-kawannya. Pemberontakan dapat diselesaikan dengan baik dan mereka tidak dihadapkan ke siding pengadilan militer Jepang. Sedangkan tanggung jawab selanjutnya adalah pada daidanco PETA Cilacap. Namun, pada tanggal 25 April 1945 Kusaeri tertangkap di Desa Adipala dalam perjalanan menuju Cilacap. Ia diikat dan ditelungkupkan dalam mobil dengan dua orang Jepang duduk di atas punggungnya. Selama dua minggu di Cilacap ia terus menerus diperiksa oleh Jepang, kemudian pada tanggal 10 Mei 1945 Kusaeri dengan 18 orang temannya termasuk Kyai Bugel di bawa ke Jakarta oleh Jepang. Kusaeri divonis hukuma mati, sedangkan lainnya ada yang dihukum seumur hidup dan hukuman 15 tahun penjara, diantara mereka ada yang menderita lumpuh di dalam tahanan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pendudukan Jepang di Indonesia tidak dapat diterima, di samping adanya perlawanan-perlawanan tersebut, para tentara-tentara Jepang juga sempat mengadakan pembunuhan secara besar-besaran terhadap masyarakat lapisan terpelajar di daerah Kalimantan Barat. Tidak kurang dari 20.000 orang yang meninggal akibat dibunuh oleh para tentara Jepang, hanya sebagian kecil saja yang dapat menyelamatkan diri dan lari ke Pulau Jawa.
Kemungkinan besar, politik pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh para tentara Jepang tersebut merupakan persiapan kolonisasi orang-orang Jepang kelak di kemudian hari. Alasan semula, berasal dari kecurigaan pemerintah Jepang terhadap adanya mata-mata musuh yang tersebar di wilayah ini, yang kemudian melakukan pembasmian demi keselamatan Jepang. Meskipun demikian, di wilayah ini telah terjadi suatau tindakan brutal yang dilakukan oleh para tentara pemerintah pendudukan Jepang yang tidak mengenal adanya perikemanusiaan.

Alasan Jepang Membubarkan PETA

Akibat dari terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para tentara PETA yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia, akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepang dengan blok Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan para daidan batalion PETA untuk menyerah dan menyerahkan senjata mereka, dimana sebagian besar dari mereka mematuhinya. Presiden Republik Indonesia yang baru saja dilantik, Sukarno, mendukung pembubaran ini ketimbang mengubah PETA menjadi tentara nasional, karena tuduhan blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator Kekaisaran Jepang apabila ia memperbolehkan milisi yang diciptakan Jepang ini untuk dilanjutkan. Sehari kemudian, tanggal 19 Agustus 1945, panglima terakhir Tentara Ke-16 di Jawa, Letnan Jendral Nagano Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan pada para anggota kesatuan PETA.
semoga bermanfaat